Jumat, 14 Agustus 2009

rahasia ilmu rajah nama

Ilmu Rajah adalah suatu jenis keilmuan tertentu yang mempelajari symbol sebagai alat untuk mediasi energi untuk digunakan sebagai medium penyaluranya dalam berbagai keperluan dan kepentingan. Penggunakan symbol atau huruf sebagai mediun untuk menyalurkan energi dibantu juga dengan unsur-unsur yang lainnya dari si pembuat dan ditujukan untuk si pemakai.
Di Negara-negara yang mempunyai budaya tua seperti halnya Timur tengah, Eropa dan India sangat mengenal keilmuan ini selama berabad-abad, mereka menggunakan seni rajah huruf atau simbol sebagai sebuah keilmuan untuk banyak keperluan. Antara lain untuk kesehatan, pemantapan keyakinan, perisai diri dari pengaruh buruk juga untuk seni.tetapi di negara Asia Tenggara khususnya Indonesia setelah budaya seni rajah simbol dibawa oleh para pendatang dari India dan Pedagang-pedagang Timur tengah lama kelamaan dan lambat laun berubah fungsinya menjadi terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan seni rajah mistis mistis. Banyak pada tataran tertentu yang penggunakan seni rajah simbol digunakan sebagai alat untuk hal-hal yang berbau metafisika atau supra natural. Budaya yang diambil dari budaya India juga di perlihatkan dengan budaya yang dimasukan dalam seni cerita wayang yang memuat sebuah alat perisai diri yang menggunakan seni tulis rajah simbol maka menimbulkan pergeseran nilai yaitu menggunakan seni rajah huruf sebagai perisai diri. Salah satu contoh adalah rajah cakra atau yang dikenal sebagai rajah Kala cakhra yang berbentuk seni rajah simbol atau huruf yang dimuat dalam gambar yang mempunyai sudut delapan atau mandala dengan memuat rajahan energi. Rajah tersebut banyak digunakan oleh para praktisi supranatural atau metafisika untuk memagari diri dari hal-hal yang kurang baik atau negative. Dan salah satu pelatihan khusus yang dipelajari oleh padepokan pencak silat “ siteki teratai “ adalah rajah nama. Yaitu sebuah seni rajah simbol yang menggunakan nama sebagai alat mediumisasi penyaluran energi keyakinan dan holistic energi.
Rajah nama adalah salah satu tulisan huruf atau simbol yang mempunyai kharomah tertentu. Didalam bentuk rajah ini memuat kekuatan tertentu yang menimbulkan suatu energi yang dibangun dari keyakinan si pembuat rajah yang bisa memicu pada pemakainya menjadi suatu perubahan yang tidak bisa dijelaskan secara empiris. Dan cara penggunaan dan prosesnya dengan tata cara tertentu antara lain ditempatkan pada tempat tertentu dan juga ada yang dibakar atau dimusnahkan dengan tata cara tertentu pula.
Rajah nama banyak digunakan untuk berbagai kepentingan antara lain :
- Kesehatan
- Merontokan energi negative yang merugikan aura keperuntungan diri.
- Meningkatkan gelombang Aura daya pikat dan ikat.
- Kecantikan dan daya tarik diri.
- Memagari dari hal-hal yang berbau negative.
Perlu kita ketahui bahwasanya dalam mempelajari ilmu rajahan diperlukan syarat-syarat yang tidak bisa ditawar. Antara lain adalah :
- kemampuan menghafal jenis simbol rajah.
- Mengikuti dasar penyaluran energi.
- Mengikuti pelatihan pemfokusan pikiran.
- Pemantapan sebuah keyakinan yang didasarkan oleh agama masing-masing.
Di Padepokan Pencak Silat “ Siteki Teratai “ siswa yang mengikuti pelatihan ini hanya membutuhkan 6X ( 6 kali ) pertemuan untuk menguasai tata cara penulisan dan untuk penyempurnaan lebih tergantung dari bakat masing-masing siswa latih.
Salah satu keuntungan dari mengikuti pelatihan rajah nama antara lain :
- Mempermudah dalam membantu menyelesaikan solusi permasalahan yang dipunyai oleh yang mempunyai masalah.
- Tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan berlebih guna membuat alat medium penyaluran energi.
- Menambah keyakinan diri guna mengendalikan energi.
- Lebih efisien dan simple.
- Mudah dalam prosesinya.


UNTUK
Mendapatkan pelatihan dan bimbingan khusus ini
bisa menghubungi
PUSKOLAT “ SITEKI TERATAI “
Sekretariat: Perum Pesona Alam Sedayu blok. F.15 Sedayu – Bantul – Yogyakarta
Telp. 0813 28 28 88 93 Belakang SMU PANGUDILUHUR SEDAYU
BANTUL –Yogyakarta Jln. Wates KM 12






Kresna Duta

Senin, 10 Agustus 2009

uty fm radio yogyakarta dan siteki teratai

padepokan siteki teratai juga dikibarkan di stasiun radio ini sejak 5 tahun yang lalu dimana mas eko selaku pembimbing utama padepokan dijadikan narasumber dalam acara Cenayang live uty fm radio.soal fans..............dengerin aja di uty fm radio tiap jam 10 malam ampe jam 12 malam khususnya kamis malam jumat dan senin malam selasa. jangan lupa ya..uty fm radio di 106.9 fm.

Jumat, 07 Agustus 2009

Pring petung Jati Waringin

Pring petung Jati Waringin adalah salah satu cara pandangan hidup dari keilmuan padepokan pencak silat siteki teratai.

TENTANG SITEKI TERATAI

Padepokan Pencak Silat Siteki Teratai adalah padepokan yang memberikan nuansa baru di jajaran beladiri pencak silat di Indonesia dengan mengutamakan persaudaraan dalam segala bentuk pengembanganya. Padepokan pencak silat Siteki Teratai asli berasal dari Indonesia dan berkembang di Indonesia dengan materi pembelajaranya berasal dari indonesia yang merupakan kumpulan dari berbagai unsur beladiri baik dari luar dan dalam Indonesia serta diolahrasakan di Indobnesia dengan nuansa berbagai daerah dengan berdasarkan Bhineka Tunggal Ika serta Manunggaling Manungguling Manungsa saking Karya, Karsa lan Rasa Kang Pinunjul.
Didalam perkembangan padepokan pencak silat Siteki Teratai banyak terjadi penurunan dan kenaikan layaknya seperti gelombang air di lautan yang luas. Kemajuan yang diharapkan kadang-kadang mengalami pasang surut juga banyak hal yang berseberangan. Adanya kondisi politik dan sosial juga ekonomi yang kurang mendukung menjadikan organisasi padepokan Siteki Teratai terimbas pula. Salah satunya yang sangat besar pengaruhnya adalah kalangan yang menjadi anggota banyak yang berasal dari kalangan masyarakat bawah baik petani, buruh dan pedagang kecil.
Dilihat dari grafik perkembangan secara statistik Intern bahwasanya Padepokan Siteki Teratai mengalami kemajuan yang stabil mulai sekitar tahun 2000an dan mulai berkembang secara runtut dari kota kekota dan perkembangan yang berarti dimulai dari kota Yogyakarta yangmana pendukung dan peminatnya banyak yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai mata pelajaran Extra kurikuler, UKM ( Unit Kegiatan Mahasiswa ) di Universitas dan perguruan tinggi.
Pengembangan juga terjadi didalam dan luar pulau jawa menjadikan padepokan Siteki Teratai mulai didengar gaungnya. Informasi akan adanya padepokan ini diluar pulau jawa dinarasumberkan oleh Para anggota padepokan yang telah lulus atau sebagai anggota tetap dan telah pulang pasca studi dari kota yogyakarta dengan berbagai jurusan disiplin keilmuan. Banyak yang mendirikan kelompok baru dengan menggunakan disiplin ilmu dari keilmuan WIRASAnya saja.
Materi dari pelatihan yang ada di padepokan siteki teratai mengacu kepada 3 unsur yaitu pada pelatihan wiraga, wirasa dan wirama.
Materi Wiraga yang diajarkan banyak juga unsur yang mendukungnya.
Antara lain adalah :
- Dasar gerak penghormatan umum, khusus dan baris berbaris.
- Dasar gerak kuda-kuda.
- Dasar gerak tangan yang dinamakan Hoksan ( pukulan ).
- Dasar gerak kaki dan tangan yang dinamakan ketrampilan.
- Dasar gerak kaki ( sen : Sepakan Ekor Naga ).
- Dasar gerak Pasangan
- Dasar gerak kuncian.
- Dasar gerak Bantingan.
- Dasar gerak sapuan ( Hanwen ).
- Dasar gerak tangkisan.
- Kuasa Jurus Teratai.
- Kuasa Jurus Bangau.
- Kuasa Jurus Inti Fighter ( Dasar jurus Rajawali Emas).
- Kuasa jurus Black Tiger ( Harimau Hitam ).
- Kuasa Jurus Bukaan.
- Kuasa jurus tarung ganda.

Materi Wirasa yang diajarkan banyak juga unsur yang mendukungnya.
Antara lain adalah :
- Dasar pernafasan.
- Jurus pernafasan 1 – 10.
- Jurus pernafasan kawinan 1- 5.
- Jurus Pageran / Bentengan.
- Jurus Pangracutan / Dasar Rog-rog Asem.
- Senam bina aura.
- Senam Tumbuh kembang.
- Bimbingan dan pelatihan Hipnosis serta Hipnotherapi.
- Bimbingan dan pelatihan Telepati dasar.
- Bimbingan Pengobatan / Husada Program.

Materi Wirama yang diajarkan banyak juga unsur yang mendukungnya
Antara lain adalah :
- Jurus IPSI tangan kosong.
- Jurus IPSI senjata Golok.
- Jurus IPSI senjata Toya / tongkat.
- Jurus Padepokan dasar Toya.
- Jurus Padepokan Toya formasi bintang.
- Jurus Padepokan Toya formasi Ganda.
- Jurus Padepokan Double stick atau Ruyung.

Adapun kelompok-kelompok pelatihan juga banyak terdapat di Padepokan Siteki Teratai yang kesemuanya juga masih dalam cakupan dibawah pemerintahan Padepokan Siteki Teratai , antara lain :
- Kelompok Pelatihan Beladiri Murni
- Kelompok Pelatihan Pernafasan.
- Kelompok Pelatihan Senam Bina Aura /Senam Aura
- Kelompok Pelatihan Pengobatan / Husada.
- Kelompok Sanggar Pamujan Lemah Duwur Kayuwangi SP70.
- IKST ( Ikatan Keluarga Besar Siteki Teratai )


Untuk kelompok pelatihan bela diri murni maka wilayah atau daerah yang berdiri dikendalikan Pusat komando atau sentralnya terdapat pada PUSKOLAT ( Pusat Komando Latihan ) yang berada di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan diPUSDIKLATkan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Adapun cakupan daerah pengembangan antara lain :
PUSKOLAT : Medang kamulan ( Yogyakarta)
PUSDIKLAT : Pantai Bocor ( Kebumen )

Poskolat Tegal – jateng : Poskolat Singasari
Poslat Kyai Guntur madu
Poslat Kyai Pleret
Poslat Krincingwesi
Poslat Bambang tutuka
Poslat Bambang Kaca
Poslat Ken Arok ( Putihan )

Poskolat Kebumen – jateng : Poskolat Majapahit
Poslat Kyai Mojo
Poslat P. Diponegoro
Poslat Nyi Ageng serang
Poslat Ki Hajar Dewantara
Poslat Sultan Iskandar Muda
Poslat Cut Nya Dien
Poslat Arjuna
Poslat Bratasena ( Bima )
Poslat Yudhistira
Poslat Nakula
Poslat Sadewa

Poskolat Bantul - Yogyakarta : Poskolat Mataram
Poslat Gajah Mada
Poslat Hayam wuruk
Poslat Ki Ageng Mangir
Poslat Wisanggeni
Poslat Gatotkaca
Poslat Antareja
Poslat Antasena

Poskolat Kupang : Poskolat Daha
Poslat Narayana
Poslat Kakrasana

Poskolat Medan : Poskolat Jenggala
Poslat Harjuna Wiwaha
Poskolat Bontang – Samarinda : Poskolat Pajang
Poslat Hanoman

Poskolat DKI Jakarta : Poskolat
Poslat Srikandi

Sanggar Pamujan Lemah Duwur : Poslat Poh Pitu

Senam Bina Aura CLUB 77 : Poslat Syailendra.

The SITI JENAR

SYEKH SITI JENAR
Juli 18, 2008 pada 2:20 pm (SYEKH SITI JENAR)
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499) Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali.
Siti Jenar dianggap telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar.
Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar. Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
1. Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya.
2. Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
3. Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah.
4. Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia.
5. Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera.
6. Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya.
7. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru.
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa : Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah; Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan; Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi; Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa : Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata; Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan; Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian. Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif).
Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran. Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa.
Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela.
Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci. Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya. Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”. Sidang para Wali Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.
Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie sbb:
Pedah punapa mbibingung, Ngangelaken ulah ngelmi, NJeng Sunan Giri ngandika, Bener kang kaya sireki, Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi. Telenge bae pinulung, Pulunge tanpa ling aling, Kurang waskitha ing cipta, Lunturing ngelmu sajati, Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe Iguh dhaya pratikele Nukulaken nanem bibit Ono saben galengane Mili banyu sumili Arerewang dewi sri Sumilir wangining pari Sêrat Niti Mani . . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah. Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita. Kinanti Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti. Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi. Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani. Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika, neng kaanan ênêng êning.
By alang alang.
5 Comments
BABAD ALAS NANGKA DHOYONG
Juli 18, 2008 pada 2:17 pm (BABAD ALAS NANGKA DHOYONG)
Babad Crita Lesan
Babad Alas Nangka Dhoyong ;
Dumadine Kutha ‘Wonosari’
Wiwitaning carita ing wewengkon Sumingkar (saikine wilayah Sambi Pitu, Gunungkidul). Sumingkar iki miturut gotheking crita iki minangka Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku; rikala Sultan Hamengkubuwana I madeg ratu ing Kraton Ngayogyakarta. Sumingkar cedhak karo tembung ‘sumingkir’. Mirid saka kahanan lan sejarahe masyarakat sakiwatengen Sambi Pitu, wong-wong ing wewengkon iki minangka playon saka Majapahit, wong-wong kang ‘sumingkir’ ing alas Gunungkidul biyene. Crita lesane wong-wong kana nerangake manawa Brawijaya pungkasan keplayu tekan alas Gunungkidul, ngulandara ing sawetara papan lan mbukaki alas-alas dumadi desa-desa sarta ninggalake maneka kabudayan. Brawijaya pungkasan moksa ing Guwa Bribin, Semanu, jalaran rikala disuwun malik ngrasuk Islam dening Sunan Kalijaga ora kersa. Kaya dene masyarakat kang sumebar manggon luwih dhisik ing Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, uga Panggang, wong-wong iki wis dumunung ing sajembaring alas Gunungkidul sadurunge kedaden Palihan Nagari (Prajanjen Giyanti) ing Surakarta. Kabukti kanthi ananing maneka warna kabudayan kang gregete nuduhake semangat Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, kaya ta: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, petilasan Hindhu, petilasan Buda, lsp. kang tansah diuri-uri tekane saiki. Crita iki uga minangka bukti stereotip ‘babad’ kaya kang dumadi ing desantaraning pulo Jawa lumrahe; kepara ing nusa-antara.
Ing Sumingkar Adipati Wiranagara madeg dadi adipati. Piyambake kagungan garwa cacahe loro, sing siji wanita Sumingkar, sing siji garwa triman saka Sultan. Ateges, garwa sing siji saka kraton Ngayogyakarta. Wus dadi kalumrahan yen para adipati pikantuk bebungah awujud apa wae saka ratune, bisa kalungguhan, kalebu garwa triman. Angkahe warna-warna: kanggo lintu tandang gawe, kanggo nerusake trahing kusuma, minangka tandha panguwasaning raja utawa kosok balene; teluke panggedhe ing dhaerah-dhaerah marang Nagaragung. Duk semana, rikala Adipati Wiranagara sowan ing Kraton Ngayogyakarta, piyambake oleh prentah saka Kanjeng Sultan supaya mindhah Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku kang dumunung ing Sumingkar (Sambi Pitu) menyang Alas Nangka Dhoyong, kang penere ing Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul ing wektu iki. Kutha praja kabupaten Gunungkidul prelu dipindhah amarga miturut tata jagading keblat papat, kurang pener manengah. Dadi, rinasa dening Sultan kurang mangaribawani tumrap wewengkon kabupaten Gunungkidul liyane. Mangkono alesan ing crita rakyat dikandhakake. Sawuse kondur saka Kraton Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara nimbali kabeh pangembating praja ing Sumingkar supaya sowan ing pendhapa kabupaten.
Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah Piyaman tekane Nglipar saiki), durung katon sowan ing pendhapa kabupaten. Para pangembating praja padha duwe beda penggalihan babagan durung sowane Demang Wanapawira. Wekasane, Demang Wanapawira tumeka sowan. Rangga Puspawilaga, sawijining rangga asal Siraman, matur marang Adipati Wiranagara supaya Demang Wanapawira diparingi ukuman marga telat anggone sowan. Rangga siji iki pancen wong kang gumunggung, seneng tumindak culika. Ananging usul mau ora ditanduki dening Sang Adipati. Adipati Wiranagara paring dhawuh marang Demang Wanapawira supaya ngayahi jejibahan mbabad Alas Nangka Dhoyong kanggo mangun kutha praja Kabupaten Gunungkidul, kaya dene kang tinitahake Sultan Hamengkubuwana. Demang Wanapawira siyaga mundhi dhawuh. Rangga Puspawilaga ora sarujuk yen Demang Wanapawira kang pinilih ngemban titahe Sultan iku. Angkahe, dheweke kang madeg duta. Rangga Puspawilaga ndhisiki metu saka pasewakan marga ora narima kahanan iku.
Ing kademangan Piyaman, cinarita ana sawijining perewangan kanthi nama Mbok Nitisari, kawentar jejuluk Nyi Niti. Nyi Niti dimangerteni dening wong-wong ing sakiwatengening Piyaman, kepara ing sawetara wewengkon Gunungkidul wektu iku, minangka perewangan; wong kang linuwih, mligine gayut karo roh alus lan lelembat. Nyi Niti duwe garwa inaran Ki Niti. Nyi Niti satemene mbakyune Demang Wanapawira. Nyi Niti lan Demang Wanapawira iki kalebu keturunane wong-wong playon saka Majapahit jaman semana. Tekane Piyaman, Demang Wanapawira marahake babagan apa kang tinitahake marang piyambake: mbukak Alas Nangka Dhoyong didadekake kutha praja. Demang Wanapawira nyuwun pretimbangan marang kangmboke. Satemene, sawuse ngrungu titah iku Mbok Niti rumangsa yen iku titah kang abot sanggane. Sakehing wong kang dumunung ing wewengkon Gunungkidul wektu iku wus priksa yen Alas Nangka Dhoyong iku alas kang gawat kaliwat, punjere jim lelembut, lan omahe dhanyang Nyi Gadhung Mlathi. Nanging, Mbok Niti saguh nyengkuyung lan ngrewangi Demang Wanapawira. Mbok Niti ndhawuhi Demang Wanapawira: sadurunge ngayahi babad alas supaya nglakoni sesuci lan ngadani slametan. Upacara iki syarat kang wus ditindakake para leluwure kawit biyen lan minangka sarana supaya manungsa bisa nyawiji lan nguwasani alam, kalebu roh-roh kang manggon ing alas wingit Nangka Dhoyong. Dene Nyi Niti bakal nyoba ‘rembugan’ karo Nyi Gadhung Mlathi; dhanyange Alas Nangka Dhoyong!
Demang Wanapawira, dirowangi Nyi Niti, semadi ing sangisoring wit ringin putih kang eyub, yaiku wit ringin kang mapan ing tengahing Alas Nangka Dhoyong. Nyi Gadhung Mlathi mapan ing wit iku (dhanyang panguwasa Alas Nangka Dhoyong). Demang Wanapawira lan Nyi Niti wus rila yen mengkone dimangsa Nyi Gadhung Mlathi uger titah mbukak alas dadi kutha praja bisa kasembadan. Ana sawenehing banaspati kang ngreridhu Demang Wanapawira lan Nyi Niti kang lagi samadi, nanging bisa ditelukake. Nyi Gadhung Mlati marani saklorone. Dumadi peperangan rame antarane Nyi Gadhung Mlathi lan Nyi Niti. Marga ora ana kang kasoran, mula padha ngadani pirembagan. Nyi Gadhung Mlati menehi palilah alase bisa dibukak didadekke kutha praja kanthi sarat: digawekke sajen Mahesa Lawung. Uwit panggone Nyi Gadhung Mlathi ora pikantuk ditegor lan Gadhung Mlati diwenehi panguripan dumadi dhanyang penunggu; yaiku roh kang njaga masyarakat mengkone. Nanging, Nyi Gadhung Mlati njaluk supaya digawekke sesajen saben taune minangka wujud panjagane masyarakat sing bakal ngenggoni alas iku mengkone. Nyi Niti nyarujuki panjaluke Nyi Gadhung Mlathi. Dene Nyi Gadhung Mlathi banjur mrentah para lelembut supaya nyengkuyung ngewangi pagawean mbukak alas supaya gancar anggone nandangi.
Sawuse nyekel rembug karo Gadhung Mlathi, Demang Wanapawira sowan ing ngarsane Adipati Wiranegara kanggo nyuwun panyengkuyung manawa enggal dilaksanakake babad alas. Demang Wanapawira lan Nyi Niti ngumpulke rakyat Piyaman lan sakiwatengene banjur gawe sesajen. Rakyat Paliyan dicritakake uga melu ngrewangi mbabad alas. Dene masyarakat Paliyan rewang-rewang mbabad alas iki marga wus kulina ngayahi mbabad alas; yaiku mbabad Alas Giring rikala semana, sadurunge adage Kraton Mataram. Rakyat Piyaman lan Paliyan gotong-royong mbukak alas. Rangga Puspawilaga rumangsa lingsem lan meri marang tandang gawene Wanapawira. Pakaryan mbabad Alas Nangka Dhoyong rampung. Alas wus dumadi kutha praja. Demang Wanapawira kasil ngayahi titahing ratu lan nunggu bebungah saka Sultane.
Pasar dibukak dening Adipati Wiranegara kanggo ngembangake lan ngrembakakake ajuning kutha. Pasar Nangka Dhoyong, tengere pasar iku, mapan ing wilayah Seneng lan minangka pasar kang rame banget. Adipati Wiranegara ngalembana Wanapawira kang bisa malik alas gung mijil kutha. Kacarita, ana sawijining putri saka Kepanjen Semanu (putra-putrine Panji Harjadipura) aran Rara Sudarmi ditutake Mbok Tuminah teka ing Pasar Seneng. Angkahe Sang Putri kanggo nonton lan ngrasakake kahanan pasar anyar kang lagi wae dibukak. Tekane Rara sudarmi ing Pasar Seneng bareng karo jumedhule Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Weruh Rara Sudarmi, Puspayuda rena marang dheweke. Puspayuda banjur nggodha Rara Sudarmi. Rara Sudarmi ora sudi. Banjur, dumadi padudon rame. Demang Wanapawira kang kepeneran uga ana ing Pasar Seneng ngleremke loro-lorone. Kaya dene Puspayuda, mangerteni Rara Sudarmi kang sulistya, ing manahe Demang Wanapawira sajatine uga tuwuh rasa tresna marang Rara Sudarmi. Puspayuda banget murkane marang Demang Wanapawira. Puspayuda ngelek-elek lan nantang Demang Wanapawira. Ananging ora dumadi pasulayan. Demang Wanapawira nglilih Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah supaya enggal sumingkir saka pasar. Dene Puspayuda bali ing Siraman, banjur matur marang bapane: nyuwun supaya dilamarake Rara Sudarmi ing Kepanjen Semanu.
Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah mampir ing daleme Nyi Niti. Ing crita iki diterangake yen Nyi Niti iku satemene isih kaprenah sadulur karo Rara Sudarmi, yaiku sadulur adoh saka ramane, Panji Harjadipura. Rara Sudarmi nyuwun pitulungan marang Ki Niti lan Nyi Niti prakara kang lagi wae ditemahi ing Pasar Seneng: dheweke bakal dicidrani Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Ora watara suwe, Demang Wanapawira tumekeng kana lan tansaya gedhe krentege marang Rara Sudarmi meruhi Rara Sudarmi prapta ing omahe mbakyune. Ing jroning manah, Demang Wanapawira ngersakke Rara Sudarmi. Candhaking pangangkah, kanyata Mbok Nitisari njodhokake Demang Wanapawira klawan Rara Sudarmi. Cekaking carita, Demang Wanapawira lan Rara Sudarmi padha prajanji disekseni Ki Niti dan Mbok Nitisari.
Rangga Harjadipura ing Kepanjen Semanu nampa praptane Rangga Puspawilaga kang duwe maksud nglamar Rara Sudarmi kanggo putrane, Puspayuda. Panji Harjadipura nulak kanthi alus marga akeh pawongan wus nglamar Rara Sudarmi. Praptane Puspawilaga kesaru tekane Demang Wanapawira, Ki Niti, lan Mbok Niti kang tindak Semanu kanggo ndherekke Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah. Mrangguli kasunyatan iku Rangga Puspawilaga ngelek-elek lan murka marang Demang Wanapawira: geneya Demang Wanapawira tansah munggel pangangkahe. Rangga Puspawilaga banjur oncat saka Semanu. Sawuse Panji Harjadipura diaturi kedadeyan kang ditemahi Rara Sudarmi, piyambake nyrengeni putrane marga ora pantes lan ngisinake sawijining putri panji lelungan ing pasar tanpa lilah. Ananging, Mbok Tuminah lan Demang Wanapawira nyritakake kedadeyan sanyatane lan wewatekane Puspayuda marang Panji Harjadipura. Saengga, Harjadipura lerem dukane.
Wewangunan ing Kutha Praja tilase Alas Nangka Dhoyong tansaya akeh, rame, lan ngancik rampung. Sanajan mangkono, marga rasa kuciwane kang rumangsa tansah dialang-alangi Wanapawira, Rangga Puspawilaga ngirim ‘para jago’ sarta sakehing bala kanggo merjaya Demang Wanapawira apa dene Nyi Niti. Upaya iku tansah ora kasil. Mriksani lan mireng trekahe Rangga Puspawilaga kang kaya mangkono, Adipati Wiranegara ngawasi tindak-tanduke Rangga Puspawilaga. Samantara, Kutha Praja wus dumadi lan bakal diresmekake dening Sultan Hamengkubuwana I. Kanggo mahargya acara,Panji Harjadipura usul diadani sayembara njemparing, kanggo golek jodho tumrape Rara Sudarmi, uger akeh para punggawa sarta pawongan kang nglamar Rara Sudarmi. Sayembara njemparing bakal kaleksanan kanggo ngramekake peresmian kutha praja Gunungkidul kang anyar.
Adipati Wiranegara sepisan maneh ngalembana Demang Wanapawira marga bisa mangun kutha praja kang asri lan endah. Adipati Wiranegara nglapurake karyane Demang Wanapawira marang Sultan Hamengkubuwana lumantar Patih Danureja. Alas Nangka Dhoyong malih dadi kutha kang asri. Rakyat padha remen lan muji Demang Wanapawira. Mangerteni kahanan iki, Rangga Puspawilaga panas tambah panas atine lan irine. Marga wus peteng pikire, Rangga Puspawilaga minta sraya Maling Aguna (sawijining tokoh saka wewengkon Bantul) lan sagrombolan jago liyane supaya merjaya Adipati Wiranegara, Demang Wanapawira, Nyi Niti, lan Panji Harjadipura kanthi maksud madeg Adipati Gunungkidul lan musna kabeh wong-wong kang dianggep mungsuh. Panji Harjadipura meruhi rencana ala iku banjur lapuran marang Patih Danureja. Patih Danureja ngutus Raden Mas Baskara kanggo nggulung komplotane Puspawilaga.
Peresmian kutha kabupaten ing tilase Alas Nangka Dhoyong kalaksanan. Sadurunge gawe ontran-ontran, Maling Aguna lan balane ditangkep. Sayembara njemparing kawiwitan. Puspawilaga melu sayembara. Demang Wanapawira menang ing sayembara. Sultan Hamengkubuwana I maringi tetenger Kutha Nangka Dhoyong kanthi njupuk nama saka ‘Wanapawira’ digabungke nama ‘Nitisari’, dumadi ‘Wanasari’. Saiki lumrah kaserat ‘Wonosari’. Ana maneh sawetara panemu yen nama kutha praja Gunungkidul kang dumadi saka mbabad alas iki asal saka ‘Wana’ kang ateges ‘alas’, lan tembung ‘asri’ kang marga gotheking pocapan dadi ‘sari’ ateges ‘endah’. Minangka sesulih, Demang Wanapawira diangkat dadi adipati kanthi gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat dadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Ing wekasan, Wanapawira lan Rara Sudarmi nyawiji. Mangkono Wanapawira, (‘Wana’ memper ‘wono’ ateges ‘alas’, ‘pawira’ ateges ‘wong lanang-kendel-prajurit’)], bisa ‘mbabad’ samubarang kadurakan kang ana ing sakiwatengene, kepara kang tumanem jero ing manahe, dhewe. Yaiku ‘alas rowe’ ing atine. Tamtu wae sinengkuyung ‘ngelmu’ lan ‘sadulur’ kang bisa ndadekake piyambake ‘tukang babad’, kang satemene.
Sumber crita iki saka crita lesan (waca: crita rakyat) kang ‘sawetara’ isih ngrembaka ing wewengkon Gunungkidul sisih lor-kulon. Katuturake dening Sastra Suwarna, mantan Kadhus Piyaman I-Gunungkidul, kanthi owah-owahan kang rinasa prelu kanggo panulisan. Ana maneh sawetara carangan kang ‘uga’ isih ngrembaka ing wewengkon Karangmojo-Ponjong-Semanu babagan dumadine Kutha Wonosari Kabupaten Gunungkidul; kang surasane rada beda ‘kepentingan’ karo crita lesan versi iki. Utawa versi babad sing ateges ‘buku, naskah’, kang ‘sumimpen rapet’ ing jeroning Kraton Ngayogyakarta.
Comments
T I R A K A T
Juli 15, 2008 pada 5:00 pm (T I R A K A T)
Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom sami.
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.
Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :
1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8. Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11. Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.
Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.
Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.
Comments
« Halaman

Sedikit pengetahuan tentang trah majapahit-mataram

Kayu Aran Hiwang ( Bagelen – jawa tengah )

Medang kamulan

Kahuripan


Kediri


Singasari 1222 – 1292 : Raja pertama : Sri Rajasa / Ken Arok
Raja terkenal : Kertanegara /Joko Dolok


Majapahit 1293 – 1520 Raja pertama : R.Wijaya
Raja terkenal : Hayam Wuruk
Raja terakhir : Brawijaya V



Demak 1513 - 1546


Banyak perselisihan



Pajang 1568 - 1586

Kartosuro


Mataram




Yogyakarta Surakarta






Perjanjian-perjanjian

1. Perjanjian Jepara tahun 1676 Masehi
isi Perjanjian ; Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir utara-
Jawa jika VOC menang dalam pemberontakan Trunojoyo.

2. Perjanjian Gianti tahun 1755 Masehi
Isi Perjanjian ; Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu Yogyakarta dan –
Surakarta.

3. Perjanjian Salatiga tahun 1757 Masehi
Isi Perjanjian ; Surakarta dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kasunanan dan -
Mangkunegaran .

Sedikit pengetahuan tentang Mataram berdiri

MATARAM ISLAM

Sejak hayam wuruk wafat maka pimpinan kerajaan majapahit dipimpin oleh putrinya dan suaminya. Saat itulah majapahit mengalami keruntuhan . saudaranya yang bernama bhre wirabumi hanya dikasih wilayah Blambangan saja mengakibatkan beliau memberontak majapahit saat majapahit diperintah oleh Suhita anak kusumawardani karena bhre wirabumipun menginginkan menjadi raja majapahit. Maka pada tahun 1401 – 1406 terjadilah perang Pareggreg. Majapahit lemah dan diserang oleh Prabu girindhrawardhana dari Kaling pada tahun 1478. kertabumi tewas ( BRAWIJAYA KE V )

MAJAPAHIT JATUH KETANGAN PRABU GIRINDHRAWARDANA.

Prabu girindrawardana tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498
, prabu udara bekerjasama dengan Portugis pada tahun 1512. maka

Para wali membuat suatu keputusan agar Demak lepas dari majapahit.pada tahun 1517
Demak menyerang majapahit dan majapahit jatuh ketangan orang islam pimpinan raden patah anak angkat dari kertabumi atau brawijaya ke 5 yang merupakan anak dari cina. Raden patah lahir di Palembang dan dibesarkan oleh Arya Damar.nama asli raden patah adalah pangeran jinbun atau ko so po. Pada umur 20 tahun diserahkan pada sunan ampel dan dijadikan raja oleh para wali. Sekelompok orang cina mengangkat orang cina untuk menjadi raja ditanah jawa dwipa. Sebab para wali 8 dari mereka adalah orang keturunan atau bangsa asli cina.

Pada tahun 1518 raden patah wafat.

Diganti oleh adipati yunus 1518 – 1521 beliau wafat pada tahun 1521 hanya 3 tahun

Adipati unus punya anak 2 :

1. PANGERAN SEDA LEPEN
Karena pangerqn seda lepen kurang cerdik dan kurang berpengaruh maka beliau digagalkan sebagai pengganti sultan. Beliau mempunyai putra bernama Arya Jipang atau Arya Penangsang yang kelak dewasa menjadi adipati Jipang Panolan. Wilayahnya antara Rembang dan Pati dan Jepara

2. TRENGONO
Menjadi sultan diangkat oleh kerajaan karena pandai dan cerdik. Maka demak mulai saat itu disultani oleh sultan trenggono. Sultan trenggono mempunyai putra mahkota yang berumur sama dengan arya penangsang yang bernama Prawoto.anak ini cerdik pandai yang kelak membunuh pamannya sendiri agar pamannya tidak mengangkat Arya Penangsang menjadi Sultan Demak menggantikan ayahandanya setelah wafat, sebab dulu hak waris seharusnya jatuh ketangan ayahandanya Arya Penangsang.
.
Sultan trenggono
Sultan trenggono memerintah dari tahun 1521 – 1546
Sultan trenggono meninggal didalam penyerbuan ke pasuruan dan dibunuh oleh seorang anak berusia 10 tahun anak dari bupati Surabaya saat beliau akan menginang atau makan sirih yang meladeninya adalah anak tersebut ternyata anak tersebut menikam leher sultan trenggono dengan sebilah keris..
Sepeninggalan sultan trenggono maka harus diganti oleh anaknya yaitu prawoto namun karena prawoto sebagai anak sultan trenggono masih muda belia akan diganti oleh pangeran seda lepen selaku kakak sultan trenggono yang saat dulu digagalkan sebagai sultan.. Karena masalah inilah sunan prawoto membunuh pangeran seda lepen sepulang dari sholat jumat.karena masalah inilah anak dari pangeran seda lepen membalas kematian orang tuanya. Maka pangeran jipang atau arya jipang atau arya penangsang sebagai anak pangeran seda lepen membunuh sultan prawoto sebagai putra mahkota, pangeran kalinyamat selaku menantu sultan trengono sebagai bupati jepara. Sedangkan menantu sultan trenggono yang lainnya yang berkedudukan di kadipaten Pajang yang bernama adipati hadiwijaya menuntut kematian mertuanya dengan berperang melawan arya penangsang. Adipati hadiwijaya atau jaka tingkir dibantu oleh ratu kalinyamat selaku anak sultan trenggono, ki ageng pemanahan selaku pengikut hadiwijaya, ki penjawi selaku pengikut hadiwijaya dan sutawijaya selaku anak ki ageng pemanahan juga selaku anak angkat adipati pajang serta adipati Surabaya.
Peperangan besar antara kadipaten Pajang dan Kadipaten Jipang Panolan terjadi di pinggiran kali opak.kepandaian dari ki ageng pemanahan yang menjadi solusi terakhir. Sang guru spiritual arya jipang yang bernama sunan kudus memerintahkan saat bertempur melawan kadipaten pajang janganlah melewati kali opak.kesialan akan terjadi karena saat dahulu diadakan rapat tentang pembagian kekuasaan antara arya penangsang dan hadiwijaya, arya penangsang telah menduduki kursi yang telah dirajah oleh sunan kudus. Barang siapa yang telah menduduki kursi tersebut maka selama 40 hari 40 malam orang tersebut tidak akan kebal dengan senjata tajam atau akan kena sial dan ternyata senjata makan tuan . justru yang kena rajahan tersebut malah murid sang sunan kudus sendiri.maka sunan kudus memerintahkan jangan melewati sungai opak apapun yang terjadi Tetapi kuda yang dinaiki oleh arya jipang ini yang bernama Gagak Rimang adalah kuda jantan yang saat itu sedang birahi dipancing oleh kuda betina yang dipakai oleh sutawijaya atas suruhan ki ageng pemanahan agar sang arya jipang mau menyeberangi kali opak. Ternyata perkiraan ki ageng pemanahan terjadi. Sang arya penangsang menyeberang kali opak terjadilah perang tanding antara Sutawijaya yang masih belia melawan Arya penangsang yang sudah pengalaman berperang. Disaat lengah tumbak kyai pleret mengenai perut maka tubuh sang arya penangsang bisa tertusuk oleh tumbak kyai pleret yang dibawa oleh sutawijaya. Kekebalan tubuh arya penangsang menjadi luntur karena menyeberangi kali opak.tewas mengenaskan dengan usus terburai.
Arya penangsang tewas dipinggiran Kali Opak, sama nasibnya dengan orang tuanya yang meninggal di pinggiran sungai dan karena ratu kalinyamat pernah berjanji siapa saja yang bisa membunuh arya penangsang sebagai pembunuh suaminya akan dikasih hadiah berupa tanah perdikan. Dan ki ageng pemanahanlah yang bisa membunuh arya penangsang maka beliau dikasih tanah yang dikasih nama mataram. Di alas mentaok.
Untuk memberi hadiah masing masing oleh hadiwijaya dibagi menjadi :

Ki ageng pemanahan dan putranya diberi tanah perdikan mataram yaitu alas mentaok yang sekarang dinamakan kota gede.
Putra ki ageng pemanahan atau Sutawijaya juga mendapat hadiah selaku ekskutor pembunuh arya penangsang yaitu diangkat resmi sebagai anak angkat oleh sultan pajang dan dipersaudarakan dengan putra mahkota pajang yaitu pangeran benawa.

Ki penjawi diberi tanah dan kekuasaan selaku adipati di pati jawa tengah

Adipati Surabaya diangkat menjadi wakil raja wilayah timur untuk menduduki Surabaya, sedayu, gresik, panarukan dan wilayah jawa timur lainnya.


JAMAN MATARAM BERDIRI

Setelah diberi tanah perdikan dialas mentaok maka keluarga besar Ki Ageng Pemanahan beserta keluarga pendukung lainnya berangkat membuka wilayah baru dan pedukuhan baru. Semakin hari lambat laun dengan kemantapan pemerintahan yang aman tenteram, pedukuhan Mataram Islam menjadi kuat dan semakin luas serta mempunyai pemuda-pemuda yang pemberani. Pemuda tersebut dilatih langsung oleh sutawijaya dan karena itulah Pajang menjadi resah maka diperingatkanlah Sutawijaya agar tidak memperbesar pasukan pengamananya agar tidak terkesan melawan aturan Pajang. Dan pada tahun 1582 sultan pajang wafat. Arya Pangiri yang merupakan anak dari Prawoto mencoba merebut kekuasaan pajang dari tangan calon sultan yang baru yaitu pangeran benawa. Sehingga pangeran Benawa bekerjasama dengan Sutawijaya yang merupakan saudara angkatnya memerangi Arya Pangiri si anak Sunan Prawoto. Setelah perebutan kekuasaan yang gagal berakhir pangeran Benawa menyerahkan kekuasaan pajang ketangan Sutawijaya yang dianggap mampu menanganinya. Dengan demikian kerajaan pajang selesai , setelah itu pemerintahan dipindah untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan atau menjauh dari Pajang maka kraton dipindah kedaerah yang baru yaitu mataram pemerintahan diboyong ke Mataram yang berpusat di Kota Gede.berakhirlah sejarah kasultanan Pajang dan berdirilah kerajaan baru yaitu Mataram Islam.yang selanjutnya dipimpin oleh Sutawijaya atau Panembahan Senapati.

Mataram Islam

Sultan pertamakali adalah Sultan Panembahan Senapati Ing Ngalogo Sayidin Panatagama atau Kanjeng sunan Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan.
Keadaan keamanan dan wilayah mataram semakin luas.tetapi ada ganjalan didalam dan diluar wilayah mataram, Bantul mempunyai wilayah yang dinamakan Mangiran yang merupakan pedukuhan besar yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir wanabaya adalah wilayah milik kesultanan Pajang dan saat mataram menjadi kasultanan baru, Mangiran tidak mau tunduk kepada mataram. Mereka hanya mau patuh kepada pajang. Maka terjadilah perang antara mataram melawan mangiran. Mataram kalah perang tetapi mataram berupaya menguasai mangiran terus menerus maka dikirimkanlah seorang gadis anak dari panembahan senopati atau Sutawijaya yang bernama Pambayun. Gadis itu dijadikan penari ronggeng. Ki Ageng Mangir Wanabaya terpikat dan memperistri gadis yang bernama Pambayun tersebut.ketidak tepatan operasi ini adalah Pambayun mencintai musuhnya sehingga terjadilah perkawinan. Disaat pambayun hamil maka diceritakanlah bahwasanya dia adalah anak dari panembahan senapati musuh besar ki ageng mangir wanabaya. Selaku anak mantu yang baik maka wanabaya berangkat bersama pambayun untuk hormat bakti kepada mertuanya selaku orang tua pambayun tetapi Musuh tetap musuh walaupun kedudukanya sebagai menantu sutawijaya tetap menghukum mati beliau. Disaat ki ageng mangir wanabaya sujud bekti dihadapan mertuanya, dengan secepat kilat kepala ki ageng mangir dihatamkan ke batu singgasana sang panembahan yang dinamakan watu gilang.setelah belaiau wafat maka dititipkanya jasad tersebut kepada lurah ambar ketawang untuk dimakamkan di pedukuhan tersebut tetapi sebagai penghormatan makam beliau dijadikan monumen di makam kota gede.ada juga yang mengatakan Makam beliau dirahasiakan tetapi ada sumber menyatakan bahwa jasad beliau dimakamkan di desa gamping atau ambar ketawang sekitar 15 Km dari Kota Gede.
Pambayun hamil dan setelah saat itu pambayun dibuang ke pedukuhan kecil yang dinamakan pedukuhan Kutowinangun sekitar 60 Km arah barat dari makam suaminya.keturunan beliau adalah Adipati Arumbinang yang menguasai kota Kebumen, kutowinagun. Kutoarjo, purworejo dan kota-kota lainnya kelak dikemudian hari.
Yang menjadi ganjalan kedua setelah mataram berdiri adalah kadipaten Madiun atau bang Wetan yang disenopatini oleh Retno Dumilah yang merupakan anak gadis adipati madiun saat itu. Mataram perang dengan madiun dan mataram kalah diperbatasan.sultan mengirimkan 12 gadis dan menari untuk sang adipati serta anak gadisnya setelah itu sang panembahan melamar retno dumilah. Perang berakhir. Madiun jatuh ketangan mataram. Panembahan senapati atau sutawijaya memerintah dari tahun 1586 – 1601. beliau dimakamkan di pemakaman para raja di kota gede bersama dengan 2 istrinya yaitu retno dumilah dan ratu kalinyamat. Makam kota gede berisikan para raja mataram dan pengikut setianyan. Serta juga pendiri-pendiri utamanya antara lain Ki ageng Nis , ki ageng pemananahan dll termasuk Sultan Hadiwijaya sang raja pajang juga dimakamkan disana dan pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yaitu hanyokrowati. Beliau tewas di krapyak dalam pertempuran di desa krapyak jawa timur.Beliau memerintah dari tahun 1601 – 161.
. Sehingga ahli waris dipindahkan ke pemerintahan sementara yang lainnya. Yaitu dibebantugaskan kepada Gusti Martopuro.selama 1 tahun sang putra mahkota pergi dan diutusnyalah penghulu katangan untuk mencari sang putra mahkota.
Keputusan ini diambil karena putra mahkota sedang bertapa di gunung kidul dan harus menggantikan posisi ayahandanya sebagai calon raja jawa. Sang putra mahkota pulang ke kraton dan menjadi raja jawa pada tahun 1627 bergelar Prabu Hanyokrokusumo.keputusan pemanggilan putra mahkota karena usulan dari pangeran purboyo. Adipati anom ini memang cerdik dan pandai. Setelah lima tahgun menjabat sebagai raja mataram di kota gede maka pusat pemerintahannya dipindah ke Pleret – kerta. Kraton yang belaiu bangun dibangun ditengah areal hutan yang dibabat dan tanahnya dibendung sehingga aliran 3 sungai beliau jadikan untuk membuat danau buatan yang disaebut segara yasa yang ditengah-tengahnya beliau bangun kraton yang baru.tetapi kraton tersebut ditinggal setelah pemerintahan digantikan putra mahkotanya. sekaligus membuka lahan untuk makam para raja-raja jawa sebelumnya.
Setelah 13 tahun memerintah mataram beliau wafat pada tahun 1647.
Kekuasaan diganti oleh putra beliau yang bernama prabu mangkurat agung pada tahun 1647. dan karena kurangnya kebijakan dan memeras rakyat maka beliau diserang oleh Trunajaya. Sang nata melarikan diri ke Batavia guna meminta bantuan kepada VOC tetapi di Tegal Jawa Tengah beliau wafat karena sakit parah. Makam beliau ditempatkan di dusun Tegal Arum kecamatan Talang Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Salah satu kekejaman beliau adalah menghukum mati penggal kepala 5000 ulama di alun-alun pleret – beserta keluarga para ulama yang dianggap tidak menyetujui atas tindakanya dalam memerintah. Beliau mempunyai seorang selir yang bernama Ratu Malang. Mengapa dikatakan ratu malang sebab dikatakan sebagai penghalang permaisuri untuk mendekat kepada sultan. Dengan kecantikanya sang ratu malang bisa memerintah kerajaan mataram. Suatu hari sakitlah sang ratu malang. Dia memberikan nasehat kepada raja bahwasanya sakitnya karena ulah dari permaisuri dan para selir sang raja. Maka 45 selir dan permaisurinya beliau penjarakan dibawah tanah tanpa dikasih makan dan minum sehingga semua tewas. Hanya 1 orang yang hidup tetapi akhirnya dihukum mati.sang ratu malang ini juga berakhir dengan kematian yang sangat tragis.sepeninggalan istrinya maka dia mencintai seorang gadis belia yang bernama Roro Hoyi yang berumur 13 tahun. Karena masih sangat muda dan untuk mengantisipasi cercaan dari banyak kalangan maka anak tersebut beliau titipkan di kadipaten Surabaya Jawa Timur. Tetapi disana Roro Hoyi jatuh hati dengan anak putra sang adipati. Maka dibawa larilah si roro hoyi tersebut tetapi hal itu menimbulkan bencana besar. Seluruh keluarga bupati Surabaya, bupati pasuruan dan bupati dihukum mati didepan rumah mereka masing masing. Maka semakin bencilah rakyat terhadap kesema-menaan ini maka timbulah pemberontakan-pemberontakan dimana-mana sampai beliau wafat.
kemudian putranya yang bergelar sunan mangkurat amral yang bertahta di kartosuro menggantikan beliau.tahun 1767 beliau wafat dan digantikan oleh putranya lagi yang bernama KS Hamangkurat mas. Tak berapa lama kekuasaan tumbang dan digantikan oleh pamannya gusti pangeran puger dan bergelar paku buwono ke I 1797.
Selama 15 tahun ia menjadi raja di kartosuro dan pada tahun 1893 beliau wafat
Pakubuwono ke II memerintah pada tahun 1720
TAHUN 1739 kartosuro pindah ke surakarta
Dimulai dari sinilah terjadi pemecahan pemerintahan atas perjanjian Gianti yang dilakukan oleh fihak belanda.

Surakarta atau Solo dipimpin oleh Mangkunegoro dan pakubuwono
Dan
Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono dan pakualam