Jumat, 07 Agustus 2009

The SITI JENAR

SYEKH SITI JENAR
Juli 18, 2008 pada 2:20 pm (SYEKH SITI JENAR)
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499) Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali.
Siti Jenar dianggap telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar.
Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar. Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
1. Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya.
2. Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
3. Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah.
4. Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia.
5. Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera.
6. Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya.
7. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru.
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa : Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah; Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan; Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi; Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa : Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata; Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan; Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian. Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif).
Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran. Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa.
Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela.
Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci. Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya. Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”. Sidang para Wali Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.
Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie sbb:
Pedah punapa mbibingung, Ngangelaken ulah ngelmi, NJeng Sunan Giri ngandika, Bener kang kaya sireki, Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi. Telenge bae pinulung, Pulunge tanpa ling aling, Kurang waskitha ing cipta, Lunturing ngelmu sajati, Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe Iguh dhaya pratikele Nukulaken nanem bibit Ono saben galengane Mili banyu sumili Arerewang dewi sri Sumilir wangining pari Sêrat Niti Mani . . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah. Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita. Kinanti Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti. Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi. Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani. Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika, neng kaanan ênêng êning.
By alang alang.
5 Comments
BABAD ALAS NANGKA DHOYONG
Juli 18, 2008 pada 2:17 pm (BABAD ALAS NANGKA DHOYONG)
Babad Crita Lesan
Babad Alas Nangka Dhoyong ;
Dumadine Kutha ‘Wonosari’
Wiwitaning carita ing wewengkon Sumingkar (saikine wilayah Sambi Pitu, Gunungkidul). Sumingkar iki miturut gotheking crita iki minangka Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku; rikala Sultan Hamengkubuwana I madeg ratu ing Kraton Ngayogyakarta. Sumingkar cedhak karo tembung ‘sumingkir’. Mirid saka kahanan lan sejarahe masyarakat sakiwatengen Sambi Pitu, wong-wong ing wewengkon iki minangka playon saka Majapahit, wong-wong kang ‘sumingkir’ ing alas Gunungkidul biyene. Crita lesane wong-wong kana nerangake manawa Brawijaya pungkasan keplayu tekan alas Gunungkidul, ngulandara ing sawetara papan lan mbukaki alas-alas dumadi desa-desa sarta ninggalake maneka kabudayan. Brawijaya pungkasan moksa ing Guwa Bribin, Semanu, jalaran rikala disuwun malik ngrasuk Islam dening Sunan Kalijaga ora kersa. Kaya dene masyarakat kang sumebar manggon luwih dhisik ing Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, uga Panggang, wong-wong iki wis dumunung ing sajembaring alas Gunungkidul sadurunge kedaden Palihan Nagari (Prajanjen Giyanti) ing Surakarta. Kabukti kanthi ananing maneka warna kabudayan kang gregete nuduhake semangat Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, kaya ta: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, petilasan Hindhu, petilasan Buda, lsp. kang tansah diuri-uri tekane saiki. Crita iki uga minangka bukti stereotip ‘babad’ kaya kang dumadi ing desantaraning pulo Jawa lumrahe; kepara ing nusa-antara.
Ing Sumingkar Adipati Wiranagara madeg dadi adipati. Piyambake kagungan garwa cacahe loro, sing siji wanita Sumingkar, sing siji garwa triman saka Sultan. Ateges, garwa sing siji saka kraton Ngayogyakarta. Wus dadi kalumrahan yen para adipati pikantuk bebungah awujud apa wae saka ratune, bisa kalungguhan, kalebu garwa triman. Angkahe warna-warna: kanggo lintu tandang gawe, kanggo nerusake trahing kusuma, minangka tandha panguwasaning raja utawa kosok balene; teluke panggedhe ing dhaerah-dhaerah marang Nagaragung. Duk semana, rikala Adipati Wiranagara sowan ing Kraton Ngayogyakarta, piyambake oleh prentah saka Kanjeng Sultan supaya mindhah Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku kang dumunung ing Sumingkar (Sambi Pitu) menyang Alas Nangka Dhoyong, kang penere ing Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul ing wektu iki. Kutha praja kabupaten Gunungkidul prelu dipindhah amarga miturut tata jagading keblat papat, kurang pener manengah. Dadi, rinasa dening Sultan kurang mangaribawani tumrap wewengkon kabupaten Gunungkidul liyane. Mangkono alesan ing crita rakyat dikandhakake. Sawuse kondur saka Kraton Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara nimbali kabeh pangembating praja ing Sumingkar supaya sowan ing pendhapa kabupaten.
Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah Piyaman tekane Nglipar saiki), durung katon sowan ing pendhapa kabupaten. Para pangembating praja padha duwe beda penggalihan babagan durung sowane Demang Wanapawira. Wekasane, Demang Wanapawira tumeka sowan. Rangga Puspawilaga, sawijining rangga asal Siraman, matur marang Adipati Wiranagara supaya Demang Wanapawira diparingi ukuman marga telat anggone sowan. Rangga siji iki pancen wong kang gumunggung, seneng tumindak culika. Ananging usul mau ora ditanduki dening Sang Adipati. Adipati Wiranagara paring dhawuh marang Demang Wanapawira supaya ngayahi jejibahan mbabad Alas Nangka Dhoyong kanggo mangun kutha praja Kabupaten Gunungkidul, kaya dene kang tinitahake Sultan Hamengkubuwana. Demang Wanapawira siyaga mundhi dhawuh. Rangga Puspawilaga ora sarujuk yen Demang Wanapawira kang pinilih ngemban titahe Sultan iku. Angkahe, dheweke kang madeg duta. Rangga Puspawilaga ndhisiki metu saka pasewakan marga ora narima kahanan iku.
Ing kademangan Piyaman, cinarita ana sawijining perewangan kanthi nama Mbok Nitisari, kawentar jejuluk Nyi Niti. Nyi Niti dimangerteni dening wong-wong ing sakiwatengening Piyaman, kepara ing sawetara wewengkon Gunungkidul wektu iku, minangka perewangan; wong kang linuwih, mligine gayut karo roh alus lan lelembat. Nyi Niti duwe garwa inaran Ki Niti. Nyi Niti satemene mbakyune Demang Wanapawira. Nyi Niti lan Demang Wanapawira iki kalebu keturunane wong-wong playon saka Majapahit jaman semana. Tekane Piyaman, Demang Wanapawira marahake babagan apa kang tinitahake marang piyambake: mbukak Alas Nangka Dhoyong didadekake kutha praja. Demang Wanapawira nyuwun pretimbangan marang kangmboke. Satemene, sawuse ngrungu titah iku Mbok Niti rumangsa yen iku titah kang abot sanggane. Sakehing wong kang dumunung ing wewengkon Gunungkidul wektu iku wus priksa yen Alas Nangka Dhoyong iku alas kang gawat kaliwat, punjere jim lelembut, lan omahe dhanyang Nyi Gadhung Mlathi. Nanging, Mbok Niti saguh nyengkuyung lan ngrewangi Demang Wanapawira. Mbok Niti ndhawuhi Demang Wanapawira: sadurunge ngayahi babad alas supaya nglakoni sesuci lan ngadani slametan. Upacara iki syarat kang wus ditindakake para leluwure kawit biyen lan minangka sarana supaya manungsa bisa nyawiji lan nguwasani alam, kalebu roh-roh kang manggon ing alas wingit Nangka Dhoyong. Dene Nyi Niti bakal nyoba ‘rembugan’ karo Nyi Gadhung Mlathi; dhanyange Alas Nangka Dhoyong!
Demang Wanapawira, dirowangi Nyi Niti, semadi ing sangisoring wit ringin putih kang eyub, yaiku wit ringin kang mapan ing tengahing Alas Nangka Dhoyong. Nyi Gadhung Mlathi mapan ing wit iku (dhanyang panguwasa Alas Nangka Dhoyong). Demang Wanapawira lan Nyi Niti wus rila yen mengkone dimangsa Nyi Gadhung Mlathi uger titah mbukak alas dadi kutha praja bisa kasembadan. Ana sawenehing banaspati kang ngreridhu Demang Wanapawira lan Nyi Niti kang lagi samadi, nanging bisa ditelukake. Nyi Gadhung Mlati marani saklorone. Dumadi peperangan rame antarane Nyi Gadhung Mlathi lan Nyi Niti. Marga ora ana kang kasoran, mula padha ngadani pirembagan. Nyi Gadhung Mlati menehi palilah alase bisa dibukak didadekke kutha praja kanthi sarat: digawekke sajen Mahesa Lawung. Uwit panggone Nyi Gadhung Mlathi ora pikantuk ditegor lan Gadhung Mlati diwenehi panguripan dumadi dhanyang penunggu; yaiku roh kang njaga masyarakat mengkone. Nanging, Nyi Gadhung Mlati njaluk supaya digawekke sesajen saben taune minangka wujud panjagane masyarakat sing bakal ngenggoni alas iku mengkone. Nyi Niti nyarujuki panjaluke Nyi Gadhung Mlathi. Dene Nyi Gadhung Mlathi banjur mrentah para lelembut supaya nyengkuyung ngewangi pagawean mbukak alas supaya gancar anggone nandangi.
Sawuse nyekel rembug karo Gadhung Mlathi, Demang Wanapawira sowan ing ngarsane Adipati Wiranegara kanggo nyuwun panyengkuyung manawa enggal dilaksanakake babad alas. Demang Wanapawira lan Nyi Niti ngumpulke rakyat Piyaman lan sakiwatengene banjur gawe sesajen. Rakyat Paliyan dicritakake uga melu ngrewangi mbabad alas. Dene masyarakat Paliyan rewang-rewang mbabad alas iki marga wus kulina ngayahi mbabad alas; yaiku mbabad Alas Giring rikala semana, sadurunge adage Kraton Mataram. Rakyat Piyaman lan Paliyan gotong-royong mbukak alas. Rangga Puspawilaga rumangsa lingsem lan meri marang tandang gawene Wanapawira. Pakaryan mbabad Alas Nangka Dhoyong rampung. Alas wus dumadi kutha praja. Demang Wanapawira kasil ngayahi titahing ratu lan nunggu bebungah saka Sultane.
Pasar dibukak dening Adipati Wiranegara kanggo ngembangake lan ngrembakakake ajuning kutha. Pasar Nangka Dhoyong, tengere pasar iku, mapan ing wilayah Seneng lan minangka pasar kang rame banget. Adipati Wiranegara ngalembana Wanapawira kang bisa malik alas gung mijil kutha. Kacarita, ana sawijining putri saka Kepanjen Semanu (putra-putrine Panji Harjadipura) aran Rara Sudarmi ditutake Mbok Tuminah teka ing Pasar Seneng. Angkahe Sang Putri kanggo nonton lan ngrasakake kahanan pasar anyar kang lagi wae dibukak. Tekane Rara sudarmi ing Pasar Seneng bareng karo jumedhule Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Weruh Rara Sudarmi, Puspayuda rena marang dheweke. Puspayuda banjur nggodha Rara Sudarmi. Rara Sudarmi ora sudi. Banjur, dumadi padudon rame. Demang Wanapawira kang kepeneran uga ana ing Pasar Seneng ngleremke loro-lorone. Kaya dene Puspayuda, mangerteni Rara Sudarmi kang sulistya, ing manahe Demang Wanapawira sajatine uga tuwuh rasa tresna marang Rara Sudarmi. Puspayuda banget murkane marang Demang Wanapawira. Puspayuda ngelek-elek lan nantang Demang Wanapawira. Ananging ora dumadi pasulayan. Demang Wanapawira nglilih Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah supaya enggal sumingkir saka pasar. Dene Puspayuda bali ing Siraman, banjur matur marang bapane: nyuwun supaya dilamarake Rara Sudarmi ing Kepanjen Semanu.
Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah mampir ing daleme Nyi Niti. Ing crita iki diterangake yen Nyi Niti iku satemene isih kaprenah sadulur karo Rara Sudarmi, yaiku sadulur adoh saka ramane, Panji Harjadipura. Rara Sudarmi nyuwun pitulungan marang Ki Niti lan Nyi Niti prakara kang lagi wae ditemahi ing Pasar Seneng: dheweke bakal dicidrani Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Ora watara suwe, Demang Wanapawira tumekeng kana lan tansaya gedhe krentege marang Rara Sudarmi meruhi Rara Sudarmi prapta ing omahe mbakyune. Ing jroning manah, Demang Wanapawira ngersakke Rara Sudarmi. Candhaking pangangkah, kanyata Mbok Nitisari njodhokake Demang Wanapawira klawan Rara Sudarmi. Cekaking carita, Demang Wanapawira lan Rara Sudarmi padha prajanji disekseni Ki Niti dan Mbok Nitisari.
Rangga Harjadipura ing Kepanjen Semanu nampa praptane Rangga Puspawilaga kang duwe maksud nglamar Rara Sudarmi kanggo putrane, Puspayuda. Panji Harjadipura nulak kanthi alus marga akeh pawongan wus nglamar Rara Sudarmi. Praptane Puspawilaga kesaru tekane Demang Wanapawira, Ki Niti, lan Mbok Niti kang tindak Semanu kanggo ndherekke Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah. Mrangguli kasunyatan iku Rangga Puspawilaga ngelek-elek lan murka marang Demang Wanapawira: geneya Demang Wanapawira tansah munggel pangangkahe. Rangga Puspawilaga banjur oncat saka Semanu. Sawuse Panji Harjadipura diaturi kedadeyan kang ditemahi Rara Sudarmi, piyambake nyrengeni putrane marga ora pantes lan ngisinake sawijining putri panji lelungan ing pasar tanpa lilah. Ananging, Mbok Tuminah lan Demang Wanapawira nyritakake kedadeyan sanyatane lan wewatekane Puspayuda marang Panji Harjadipura. Saengga, Harjadipura lerem dukane.
Wewangunan ing Kutha Praja tilase Alas Nangka Dhoyong tansaya akeh, rame, lan ngancik rampung. Sanajan mangkono, marga rasa kuciwane kang rumangsa tansah dialang-alangi Wanapawira, Rangga Puspawilaga ngirim ‘para jago’ sarta sakehing bala kanggo merjaya Demang Wanapawira apa dene Nyi Niti. Upaya iku tansah ora kasil. Mriksani lan mireng trekahe Rangga Puspawilaga kang kaya mangkono, Adipati Wiranegara ngawasi tindak-tanduke Rangga Puspawilaga. Samantara, Kutha Praja wus dumadi lan bakal diresmekake dening Sultan Hamengkubuwana I. Kanggo mahargya acara,Panji Harjadipura usul diadani sayembara njemparing, kanggo golek jodho tumrape Rara Sudarmi, uger akeh para punggawa sarta pawongan kang nglamar Rara Sudarmi. Sayembara njemparing bakal kaleksanan kanggo ngramekake peresmian kutha praja Gunungkidul kang anyar.
Adipati Wiranegara sepisan maneh ngalembana Demang Wanapawira marga bisa mangun kutha praja kang asri lan endah. Adipati Wiranegara nglapurake karyane Demang Wanapawira marang Sultan Hamengkubuwana lumantar Patih Danureja. Alas Nangka Dhoyong malih dadi kutha kang asri. Rakyat padha remen lan muji Demang Wanapawira. Mangerteni kahanan iki, Rangga Puspawilaga panas tambah panas atine lan irine. Marga wus peteng pikire, Rangga Puspawilaga minta sraya Maling Aguna (sawijining tokoh saka wewengkon Bantul) lan sagrombolan jago liyane supaya merjaya Adipati Wiranegara, Demang Wanapawira, Nyi Niti, lan Panji Harjadipura kanthi maksud madeg Adipati Gunungkidul lan musna kabeh wong-wong kang dianggep mungsuh. Panji Harjadipura meruhi rencana ala iku banjur lapuran marang Patih Danureja. Patih Danureja ngutus Raden Mas Baskara kanggo nggulung komplotane Puspawilaga.
Peresmian kutha kabupaten ing tilase Alas Nangka Dhoyong kalaksanan. Sadurunge gawe ontran-ontran, Maling Aguna lan balane ditangkep. Sayembara njemparing kawiwitan. Puspawilaga melu sayembara. Demang Wanapawira menang ing sayembara. Sultan Hamengkubuwana I maringi tetenger Kutha Nangka Dhoyong kanthi njupuk nama saka ‘Wanapawira’ digabungke nama ‘Nitisari’, dumadi ‘Wanasari’. Saiki lumrah kaserat ‘Wonosari’. Ana maneh sawetara panemu yen nama kutha praja Gunungkidul kang dumadi saka mbabad alas iki asal saka ‘Wana’ kang ateges ‘alas’, lan tembung ‘asri’ kang marga gotheking pocapan dadi ‘sari’ ateges ‘endah’. Minangka sesulih, Demang Wanapawira diangkat dadi adipati kanthi gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat dadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Ing wekasan, Wanapawira lan Rara Sudarmi nyawiji. Mangkono Wanapawira, (‘Wana’ memper ‘wono’ ateges ‘alas’, ‘pawira’ ateges ‘wong lanang-kendel-prajurit’)], bisa ‘mbabad’ samubarang kadurakan kang ana ing sakiwatengene, kepara kang tumanem jero ing manahe, dhewe. Yaiku ‘alas rowe’ ing atine. Tamtu wae sinengkuyung ‘ngelmu’ lan ‘sadulur’ kang bisa ndadekake piyambake ‘tukang babad’, kang satemene.
Sumber crita iki saka crita lesan (waca: crita rakyat) kang ‘sawetara’ isih ngrembaka ing wewengkon Gunungkidul sisih lor-kulon. Katuturake dening Sastra Suwarna, mantan Kadhus Piyaman I-Gunungkidul, kanthi owah-owahan kang rinasa prelu kanggo panulisan. Ana maneh sawetara carangan kang ‘uga’ isih ngrembaka ing wewengkon Karangmojo-Ponjong-Semanu babagan dumadine Kutha Wonosari Kabupaten Gunungkidul; kang surasane rada beda ‘kepentingan’ karo crita lesan versi iki. Utawa versi babad sing ateges ‘buku, naskah’, kang ‘sumimpen rapet’ ing jeroning Kraton Ngayogyakarta.
Comments
T I R A K A T
Juli 15, 2008 pada 5:00 pm (T I R A K A T)
Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom sami.
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.
Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah :
1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8. Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11. Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.
Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.
Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.
Comments
« Halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar